Papua untuk kesekian kalinya kembali dirundung nestapa. Ratusan anak-anak di salah satu wilayah Papua, Asmat--kawasan yang dikepung oleh hutan hujan tropis, sungai-sungai besar nan panjang, rawa-rawa, dan juga laut Arafura--didera wabah kekurangan gizi dan penyakit campak.
Krisis kesehatan yang menewaskan 72 jiwa anak-anak Asmat itu ditengarai sebagai fenomena puncak gunung es. Tudingan itu memang bukan pepesan kosong.
Sejak tahun 2005, tercatat setidaknya 595 anak-anak dari berbagai wilayah di Papua tewas, entah akibat kekurangan gizi atau terkena wabah penyakit yang sebetulnya bisa dihindari seperti: campak, diare, atau malaria.
Krisis kesehatan yang terus berulang dan berlangsung hampir setiap tahun di Papua tak hanya menyingkap masalah mendasar di bidang kesehatan. Namun, merupakan satu gejala yang menunjukkan adanya persoalan pelik dalam pembangunan di Papua secara umum.
Kondisi yang menyayat hati itu telah sejak lama dialami masyarakat Papua. Yohanes Jonga, pastor sekaligus pegiat kemanusiaan Papua, melihat dalam kurun waktu yang relatif lama kampung halamannya hampir selalu diabaikan. Pembangunan di Papua baru mulai digencarkan setelah Undang-Undang Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001 yang mengatur tentang keistimewaan wilayah Papua disahkan.
Sejak saat itu, pemerintah pusat menggelontorkan dana pembangunan yang relatif besar. Namun faktanya, meskipun pelaksanaan program-program pembangunan digencarkan, masalah sosial tak kunjung surut di Bumi Cendrawasih itu.
Papua masih saja menjadi provinsi paling miskin, dengan tingkat kualitas sumber daya manusia paling rendah, dan yang paling tidak bahagia pula.
Gelontoran dana pembangunan besar memang bukanlah “jin botol” yang serta-merta menyelesaikan persoalan sosial di tanah Papua semudah membalikkan telapak tangan. Apabila menukil pada statistik-statistik pemerintah, Papua masih menjadi provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia. Survei Badan Pusat Statistik yang dirilis akhir 2017 mengungkap 21,3 persen masyarakat Papua dan Maluku masih tergolong miskin.
Bedanya, jika orang-orang Maluku merupakan masyarakat paling bahagia di Indonesia, masyarakat Papua justru sebaliknya: mereka adalah yang paling tidak bahagia di Indonesia.
Realita itu tersingkap melalui survei BPS tentang indeks kebahagian masyarakat setiap provinsi di Indonesia. Di survei itu, Papua tercatat sebagai provinsi dengan indeks kebahagian terendah sebesar 67,52, berbanding terbalik dengan masyarakat Maluku Utara dan Maluku yang dinobatkan paling bahagia dengan indeks kebahagiaan masing-masing sebesar 75,68 dan 73,77.
Merujuk pada pernyataan Kepala BPS, Suhariyanto, ketidakbahagiaan yang dirasakan oleh masyarakat Papua berkaitan erat dengan dimensi kepuasan hidup akan pendidikan, pendapatan, dan kondisi perumahan yang tidak layak. Itu artinya, kemiskinan di Papua, berbanding lurus dengan rasa tidak bahagia mereka.
Lantas, dengan dana pembangunan yang sedemikian besar itu, mengapa Papua--meminjam istilah Jakarta--tak kunjung ‘maju’?
Memperbaiki Komitmen
Tak aneh rasanya bila mengatakan bahwa di tengah hiruk pikuk retorika pembangunan yang digembar-gemborkan oleh setiap rezim pemerintahan, pembangunan di Papua sebetulnya sudah kadung bermasalah. Meminjam istilah pastor Yohanes Jonga, “Persoalan menyangkut pembangunan di Papua sudah sedemikian kompleks dan multidimensional yang merasuk ke hampir seluruh aspek kehidupan”.
Bambang Purwoko, Ketua Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada, melihat bahwa sejak otonomi khusus diberlakukan, pihak yang seharusnya paling bertanggung jawab atas permasalahan pembangunan di Papua adalah pemerintah daerah.
Terlebih, menurutnya, setelah Papua memperoleh dana pembangunan yang sedemikian besar. “Seharusnya tidak ada alasan lagi Papua, baik di bidang pendidikan, kesehatan, maupun infrastruktur, menjadi daerah tertinggal,” ujar Bambang kepada kumparan, Rabu (14/2).
Persoalan menyangkut pembangunan di Papua sudah sedemikian kompleks dan multidimensional yang merasuk ke hampir seluruh aspek kehidupan.
- Yohanes Jonga, Pegiat Kemanusiaan Papua
Sejak otonomi khusus diberlakukan, dalam kurun waktu 2002-2017, Papua setidaknya telah memperoleh dana otonomi khusus yang nilainya tidak main-main besarnya: Rp 47,9 triliun. Sementara pada 2017, total dana yang dialokasikan untuk Papua mencapai Rp 59,5 triliun.
Gubernur Papua Lukas Enembe mengungkapkan rincian dana tersebut berasal dari alokasi transfer pusat ke daerah sebesar Rp 43,17 triliun dan sisanya, Rp 13,68 triliun merupakan bagian dari dana kementerian/lembaga atau Satuan Kerja.
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, Boediarso Teguh Widodo, mengatakan dana yang diperoleh provinsi Papua di tahun 2017 tersebut, “Jauh lebih besar ketimbang di Sulawesi maupun Kalimantan. Kalimantan saja hanya mendapat Rp 77,7 triliun (untuk 5 provinsi). Apalagi dibanding NTT, NTB, dan Bali.”
Papua memang memperoleh anggaran besar yang digelontorkan untuk membangun, baik kawasan maupun masyarakat. Namun, besaran dana tersebut tidak serta-merta mengubah kondisi riil kehidupan masyarakat Papua.
Bambang Purwoko mengatakan, persoalan penting yang seharusnya diperhatikan ketika bicara soal pembangunan Papua justru terletak pada komitmen pejabat-pejabat daerah di wilayah itu.
Di era otonomi daerah dan otonomi khusus, program-program pembangunan praktis lebih banyak direncanakan di daerah ketimbang dari pusat. Masalahnya, dengan sumber daya manusia Papua, yang baik secara kualitas maupun kuantitas ‘terbatas’, program pembangunan justru menjadi terhambat.
“Komitmen para pejabat di daerah untuk menjalankan tugasnya dengan baik,” ujar Bambang, adalah salah satu persoalan besar. Yakni lemahnya rasa kepedulian atau sense of public yang dimiliki para pejabat daerah di Papua terhadap masyarakatnya.
“Banyak pejabat di Papua yang lebih memikirkan dirinya, keluarganya, atau kampungnya, ketimbang kepentingan publik,” ujar Bambang. “Para pejabat malah menyekolahkan anak-anak mereka ke berbagai wilayah di luar Papua dan tidak memikirkan nasib pendidikan rakyat di wilayahnya sendiri.”
Lebih jauh, Bambang juga mengatakan masalah besar di Papua terletak pada perilaku pejabat di daerah. “Yang mahal di Papua itu adalah BTL--Biaya Tingkah Laku--pejabat di daerah.”
Komitmen atau kepedulian pejabat daerah terhadap masyarakatnya juga ditunjukkan melalui alokasi waktu para pejabat. Bambang menyoroti banyaknya pejabat kabupaten/kota di Papua yang sangat jarang berada di lokasi tugas.
Misalnya, pejabat di kabupaten/kota Papua di wilayah pegunungan yang lebih banyak menghabiskan waktu mereka di Jayapura, Nabire, atau bahkan di Jakarta. Menurutnya, ini adalah, “Problem yang terjadi di seluruh Papua, dan ini adalah persoalan yang sangat serius.”
Apa yang disampaikan Bambang Purwoko diamini Yohanes Jonga. Menurutnya, pengawasan dan penegakan hukum memang mutlak diperlukan mengingat selama ini korupsi dan penyelewengan tanggung jawab jamak terjadi. Bedanya, Yohanes menyoroti perilaku pegawai-pegawai pelayanan publik seperti mantri, guru, atau perawat.
“Pegawai seperti mantri, perawat, atau guru itu harus diberi tindakan tegas. Bayangkan kalau sudah berbulan-bulan mereka tidak ada di tempat tugas, masa dibiarkan? Orang Papua membaca itu sebagai proses pembiaran. Nah, sebenarnya ini penegakan hukum di Papua yang lemah,” ungkap Yohanes kepada kumparan, Senin (19/2).
Di samping soal komitmen, satu hal lain yang patut diperhatikan adalah keterbatasan kualitas sumber daya manusia para pemangku kebijakan. Lemahnya kualitas dan rendahnya komitmen dan kepedulian para pejabat itu tentu berdampak pada program-program pembangunan di Papua.
“Kemampuan (pejabat daerah) merencanakan (pembangunan) tidak bisa, kemampuan implementasi juga lemah, lalu pilihan alokasi belanja juga lemah,” papar Bambang.
Bayangkan kalau sudah berbulan-bulan mereka tidak ada di tempat tugas, masa dibiarkan? Orang Papua membaca itu sebagai proses pembiaran.
- Yohanes Jonga
Melihat masalah-masalah yang sifatnya institusional itu, Bambang menekankan pentingnya pendampingan oleh para pakar pembangunan dalam pelaksanaan program pembangunan di Papua.
Pendampingan di sini, menurutnya, harus dimulai sejak proses penyusunan dokumen perencanaan, berkomunikasi untuk mengambil kebijakan yang tepat, sampai pengimplementasian kebijakan secara konsisten.
Meski Papua telah memperoleh dana pembangunan yang relatif besar, ironisnya persoalan sosial yang sifatnya mendasar masih kerap melanda masyarakat di wilayah tersebut. Antropolog UGM Laksmi A. Savitri menilai, problem tak bisa diselesaikan dengan sekadar memperbaiki tata pemerintahan atau kualitas sumber daya manusia pemangku kebijakan di Papua.
Laksmi menegaskan, masalah pembangunan di Papua juga diakibatkan oleh pola pembangunan yang mengabaikan corak lokal dan aspek kemanusiaan masyarakat Papua.
Menurut Laksmi, pembangunan di Papua harus dimulai pertama-tama dengan “penghormatan atas martabat orang Papua”. Selama ini, dalam berbagai proyek pembangunan, “Masyarakat Papua hanya dipandang sebagai objek, bukan subjek pembangunan.”
Sebagai objek yang perlu ‘dibangun’, orang-orang Papua sering kali mendapat stigma tertentu dari orang non-Papua yang sifatnya merendahkan. Misalnya: orang Papua sering dianggap primitif, terbelakang, miskin, dan sebagainya.
Stigma-stigma yang bersifat merendahkan tersebut telah menempatkan orang-orang Papua ke posisi yang tidak menguntungkan. Menurut Laksmi, stigma dan stereotip itu telah menyebabkan proses edukasi atau alih pengetahuan untuk mendukung program-program pembangunan menjadi muskil dilakukan.
“Ada anggapan yang menyatakan bahwa mereka (orang-orang Papua) itu tidak akan mengerti, bahkan meski mendapat edukasi atau penjelasan sekali pun. Karena (stigma) bahwa mereka itu tidak sekolah, berpendidikan rendah, dan seterusnya. Stigma itu kemudian terakumulasi, yang menyebabkan mereka tertutup dari jalur informasi,” tutur Laksmi saat berbincang kepada kumparan, Kamis (15/2).
Dengan demikian, penghormatan martabat manusia Papua sebagai subjek atau aktor pembangunan harus dimulai dengan pendekatan yang bercorak apresiatif. Itu artinya, manusia Papua harus dipahami sebagai manusia yang mempunyai kapasitas, kemampuan, keahlian, kecerdasan, dan intelektualitas tersendiri.
“Menurut saya, kalau memang mau membuat orang Papua cerdas, harus berangkat dari memahami dulu kecerdasan mereka,” ujar Laksmi.
“Bagaimana mereka berbahasa dan seperti apa nalar mereka bekerja, itu menjadi penting. Pembangunan dengan pendekatan kebudayaan, itu yang seharusnya didorong. Bukan kemudian dipaksakan untuk mencerdaskan orang Papua ala modernisme Barat.”
Tanpa adanya pemahaman atau pendekatan pembangunan yang memperhatikan aspek kebudayaan, menurutnya, “Apapun yang akan dibangun di Papua akan sia-sia. Artinya masyarakat Papua justru akan semakin terpinggirkan.”
Pandangan yang sama diungkapkan Yohanes Jonga. Menurutnya, selama ini konsep pembangunan yang diprogramkan dari pusat tidak serta-merta dapat diterapkan dengan baik di Papua, tanpa disertai dengan pendekatan budaya lokal. Pembangunan Papua di masa depan harus mengedepankan pendekatan partisipatif yang lebih menekankan soal nilai-nilai lokal Papua.
“Saya pikir gagalnya karena itu tadi, konsep pembangunan kita yang diprogramkan dari pusat bertentangan dengan nilai-nilai budaya dan cara kerja orang Papua,” jelas Yohanes.
Dengan demikian, pendekatan kemanusiaan dan kebudayaan pun menjadi keharusan.
“Program-program pembangunan dengan pendekatan yang semata-mata ekonomistik, maupun politis seharusnya tidak diterapkan di Papua, karena hanya akan mereproduksi stigma dan semakin memarjinalkan masyarakat Papua,” pungkas Laksmi.
Pembangunan dengan pendekatan kebudayaan, itu yang seharusnya didorong. Bukan kemudian dipaksakan untuk mencerdaskan orang Papua ala modernisme Barat.
- Laksmi A. Savitri, Antropolog UGM ​
Senada dengan Laksmi, Bambang Purwoko juga menekankan pentingnya pemahaman atas keunikan atau corak lokal di masing-masing daerah di Papua. Menurutnya, “Keunikan di setiap daerah di Papua memang memerlukan pendampingan khusus.”
Dalam hal ini, keunikan kabupaten/kota di Papua yang berbeda satu sama lain, antara wilayah yang berada di gunung dan pantai menjadi krusial.
Selain hal-hal yang telah disebutkan di atas, ada satu aspek yang sebetulnya penting diperhatikan ketika berbicara pembangunan di Papua: penyelesaian kasus pelanggaran HAM.
Klaim ini sama sekali tidak mengada-ada. Berdasarkan hasil survei “Persepsi Warganet Terhadap Isu Papua” yang diselenggarakan oleh LIPI dan Change.org, mayoritas responden sebesar 14,02 persen menyatakan bahwa masalah terbesar di Papua bukanlah kemiskinan atau infrastruktur, melainkan pelanggaran HAM.
Yohanes Jonga menyoroti hal ini, sebelum berbicara masalah pembangunan infrastruktur atau lainnya di Papua, penyelesaian deretan kasus pelanggaran HAM juga harus diperhatikan. Karena tak hanya menyangkut nasib bangsa Papua, namun juga bangsa Indonesia.
“Persoalan Papua itu rumit dan sudah masuk ke semua aspek kehidupan. Masalah sudah terlalu bertumpuk-tumpuk dan tidak ada satu pun penyelesaian,” tutur Yohannes. Kasus-kasus pelanggaran HAM itu, menurutnya, malah kian bertambah panjang.